Dungni - Sejumlah mahasiswa dan dosen jurusan teknik
mesin di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, membuat prototipe pesawat
tanpa awak dan melakukan uji coba penerbangan.
Pesawat yang diberi nama Camar Biru ini hanya membutuhkan panduan dari seorang pilot dalam proses siap terbang atau mendarat. Pada ketinggian yang ditentukan, pesawat akan terbang secara mandiri sesuai dengan perintah yang telah disusun dalam sebuah program komputer.
Program ini juga menentukan rute penerbangan, ketinggian terbang, mengoperasikan kamera pengintai yang bisa mengirim gambar video langsung ke pusat kendali di darat, dan kemudian kembali ke pangkalan pada waktu yang ditentukan.
Menurut Deni Dwi Nugroho yang menjadi pilot pemandu di pusat kendali darat, jika dikembangkan pesawat ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sipil maupun militer.
"Pemanfaatan pesawat otopilot ini bisa untuk pengawasan lalu lintas, pemantauan bencana, juga bisa untuk foto udara dan pemetaan. Diaplikasikan di rudal juga bisa. Jadi untuk sipil bisa militer bisa. Untuk menjatuhkan rudal atau payload (muatan) itu bisa dijatuhkan, dan melesetnya hanya 20 cm dari target. Kalau hanya meleset 20 cm itu akurat,” ujarnya.
Deni menjelaskan, prototipe pesawat tanpa awak ini mampu terbang dalam jarak 8 kilometer. Pesawat ini juga mampu membuat peta udara dari mozaik foto-foto yang dibuat ketika terbang. Prototipe pesawat ini memiliki panjang 1,2 meter, lebar sayap 2 meter dan berat 4 kilogram.
Dosen pembimbing tim pembuat pesawat tanpa awak, Gesang Nugroho menjelaskan, pesawat tanpa awak ini dilengkapi dengan GPS, sensor stabilitas, sensor ketinggian dan sensor kecepatan. Gesang menambahkan, untuk meningkatkan kemampuannya, prototipe ini akan dikembangkan dalam model yang lebih besar.
"Untuk generasi keempat kita sudah mendesain pesawat yang lebih besar, kita rencanakan pesawat itu mampu terbang dengan range 40 kilometer. Pesawat tersebut sudah didesain bekerja sama dengan PT DI (Dirgantara Indonesia) Bandung. Pesawat ini mampu terbang pada ketinggian 600 meter. Tetapi kita rata-rata terbang pada 200 meter, karena untuk terbang di atas 200 meter kita harus meminta ijin kepada otoritas,” ujarnya.
Nama Camar Biru sendiri diilhami oleh kemampuan burung camar yang mampu terbang melayang secara stabil di udara. Proses pengembangan pesawat ini dilakukan sejak 2011 dan kini telah masuk generasi ketiga. Para pengembang yang terdiri dari 3 dosen, seorang pilot dan 7 mahasiswa ini tergabung dalam tim Flying Object Research Center (FORCE).
sumber
Pesawat yang diberi nama Camar Biru ini hanya membutuhkan panduan dari seorang pilot dalam proses siap terbang atau mendarat. Pada ketinggian yang ditentukan, pesawat akan terbang secara mandiri sesuai dengan perintah yang telah disusun dalam sebuah program komputer.
Program ini juga menentukan rute penerbangan, ketinggian terbang, mengoperasikan kamera pengintai yang bisa mengirim gambar video langsung ke pusat kendali di darat, dan kemudian kembali ke pangkalan pada waktu yang ditentukan.
Menurut Deni Dwi Nugroho yang menjadi pilot pemandu di pusat kendali darat, jika dikembangkan pesawat ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan sipil maupun militer.
"Pemanfaatan pesawat otopilot ini bisa untuk pengawasan lalu lintas, pemantauan bencana, juga bisa untuk foto udara dan pemetaan. Diaplikasikan di rudal juga bisa. Jadi untuk sipil bisa militer bisa. Untuk menjatuhkan rudal atau payload (muatan) itu bisa dijatuhkan, dan melesetnya hanya 20 cm dari target. Kalau hanya meleset 20 cm itu akurat,” ujarnya.
Deni menjelaskan, prototipe pesawat tanpa awak ini mampu terbang dalam jarak 8 kilometer. Pesawat ini juga mampu membuat peta udara dari mozaik foto-foto yang dibuat ketika terbang. Prototipe pesawat ini memiliki panjang 1,2 meter, lebar sayap 2 meter dan berat 4 kilogram.
Dosen pembimbing tim pembuat pesawat tanpa awak, Gesang Nugroho menjelaskan, pesawat tanpa awak ini dilengkapi dengan GPS, sensor stabilitas, sensor ketinggian dan sensor kecepatan. Gesang menambahkan, untuk meningkatkan kemampuannya, prototipe ini akan dikembangkan dalam model yang lebih besar.
"Untuk generasi keempat kita sudah mendesain pesawat yang lebih besar, kita rencanakan pesawat itu mampu terbang dengan range 40 kilometer. Pesawat tersebut sudah didesain bekerja sama dengan PT DI (Dirgantara Indonesia) Bandung. Pesawat ini mampu terbang pada ketinggian 600 meter. Tetapi kita rata-rata terbang pada 200 meter, karena untuk terbang di atas 200 meter kita harus meminta ijin kepada otoritas,” ujarnya.
Nama Camar Biru sendiri diilhami oleh kemampuan burung camar yang mampu terbang melayang secara stabil di udara. Proses pengembangan pesawat ini dilakukan sejak 2011 dan kini telah masuk generasi ketiga. Para pengembang yang terdiri dari 3 dosen, seorang pilot dan 7 mahasiswa ini tergabung dalam tim Flying Object Research Center (FORCE).
sumber
0 comments:
Post a Comment